Oleh:
Atina Liestyawati
ENTAH siapa yang memulai dan dari kelompok mana yang
mempromosikan. Semua mengarahkan pandangan dan rasa ke mahkluk Allah yang
memesona ini. Bukan hanya para wanita yang tergila-gila, kaum adam pun ikut
ambil bagian. Di masa pandemi saat ini banyak waktu yang lowong untuk mengisi
kekosongan. Maka makhluk yang satu ini menjadi trending topik.
Bunga menjadi primadona saat ini.
Semua seperti terhipnotis. Hampir sebagian besar pekarangan terisi bunga
yang menghiasi rumah warga.
Bunga beserta pernak perniknya menjadi barang dagangan yang diburu
warga. Banyak bermunculan pedagang bunga
musiman. Di pasar, pinggir jalan, media
sosial tak sedikit yang ambil bagian.
Saban kamis sore hingga esok harinya, di salah satu pojok Pasar
Manonda ramai disambangi penikmat bunga.
Mulai dari masyarakat petani bunga sampai pedagang bunga dadakan. Mulai
dari yang punya ilmu budidaya tanaman hias sampai yang hanya ambil tanaman
tersebut di hutan.
Harganyapun bervariasi. Dari yang ratusan ribu sampai yang
limaribuan ada di tempat itu. Pandangan
saya tertuju pada “ina-ina” dan “mangge-mangge” yang berjualan bunga. Ada
perbedaan mencolok dari tanaman yang mereka jual. Beraneka ragam tumbuhan yang
merek ambil di hutan seperti Pakis hutan, Anggrek hutan, jenis Calatea hutan
dan sejenisnya dijajakan.
Mereka menjualnya dengan harga yang terbilang sangat murah. Lima
ribu seikat. Harga yang sangat tidak pantas untuk seikat bunga yang cantik,
pikirku. Saya pun terusik untuk
bertanya, “Dapat di mana bunganya ina?” Spontan si penjual bunga itu menjawab,
“Di hutan sekitar gunung Matantimali.”
Informasi yang sempat keluar dari mulut
yang kemerahan karena mengunyah sirih. “Cemilan” khas mereka. Untuk
memburu bunga liar terkadang harus naik turun lembah. Bertemu ular atau
binatang berbahaya penghuni hutan demi mendapatkan seikat bunga yang harganya
tak sebanding dengan perjuangan.
Miris. Kasihan bercampur iba mereka harus bertaruh nyawa untuk
sekedar mendapatkan pundi-pundi penghasilan agar dapur tetap mengepul. Pun
mereka harus menginap semalam di pasar agar keesokan pagi dapat menjajakan
jualannya.
Tiba-tiba suara seorang ibu calon pembeli yang menawar harga bunga
menyadarkan lamunanku. “Sepuluh ribu tiga ikat ya ina?”. "Astaga… bunga semurah itu masih juga
ditawar?," batinku. Si Ina, hanya terdiam sejenak lalu membalas dan
mengangguk, “ Iya... Boleh”. Saya hanya bisa menghela napas panjang. Ada
rasa sesak yang menjalar.
Pasar bunga itu hanya ada seminggu sekali. Akan bubar saat
matahari telah meninggi. Hingga pukul 11.00 seiring berkurangnya pembeli.
Setelah itu bunga-bunga hutan tadi yang tidak berjodoh dengan pembeli alias
tidak laku. Yang diperoleh dengan perjuangan berat hanya berakhir di tempat
sampah. Ditinggalkan begitu saja, layu tak bernyawa lagi.
Sungguh disayangkan.
Seandainya mereka punya keahlian budidaya tanaman mungkin pemandangan itu tidak
akan terjadi. Mereka butuh sentuhan
pengetahuan dan keterampilan budidaya tanaman hias. Mereka pantas mendapatkan pendidikan untuk
kemampuan berjiwa agribisnis. Namun siapa yang bertanggung jawab?
Pemerintahkah, lembaga pendidikankah, pihak swastakah atau… Hingga suatu saat
taraf hidup mereka bisa terangkat.
Palu, 25 Nopember 2020
Selamat Hari Guru....
"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." (Pramoedya Ananta Toer)
#RuangLiterasiGuruSulteng