Atina Liestyawati

Kamis, 04 Maret 2021

RINDU

 



dalam rindu ku masih berharap


berharap kau kan hadir

mengisi hari hariku lagi


rindu kicauanmu

...rindu celotehmu... rindu anggukanmu... rindu kenakalanmu...


dinding dinding pagar juga rindu jamahanmu...teriakan sang penjaga....kemudian senyap lagi.


hari ini ku menata hati...menata harapan...


menunggu benih baru itu tumbuh....

ku semai dalam bingkai  ahklak. Ku jaga  sepenuh ihklas sampai  hari itu tiba.


hari dimana kau akan terbang memulai petualangan tuk menentukan langkahmu...


aku masih rindu..

rindu rinai hujan...rindu  sang raja hari...rindu sepoi bayu ... rindu bisik ilalang.


aku masih di sini dan tetap rindu.



Bumi Tadulako,  8 Januari 2021

Sabtu, 26 Desember 2020

Smanpat

 


Aku  graha tak bernyawa memilih berdiri diantara sejuta harapan dan keinginan.  Tubuhku ringkih ditelan perkembangan zaman.  Hancur lalu tersapu angin  disaksikan langit  merah jingga.

Kini umurku bertambah sepuh namun penampilan bak artis belia nan cantik, tak kau dapati lagi kelasmu yang dulu, kelas tak berjendela satu, tempatmu menggantung dagu dan berlalu.

Wahai alumnus jiwa…. kalian pernah berteduh di bawah naungan sayapku, kuberikan kehangatan, kusaksikan gairah semangat membara, kau gantungkan cita-cita harapan diatas langit-lagitku. Kemudian perlahan terbang sampai keujung cakrawala.

Aku hanya seonggok tanah yang menyokong kaki mungil kalian, memberi pijakan saat lelah menerpa raga.  Berdiri dibawah terik surya, tak peduli hujan mendera, demi pengabdian nyata.

Namamu tergores di wajah dinding-dinding bisu, meja bangku berbaris menyimpan berjuta kenangan, tak pernah mengeluh walau dirimu berlalu.

Wahai alumnus jiwa… kepakan terus impianmu,  buat aku bangga.  Ukir prestasimu di canvas  langit biru memantaskan diri tuk sebuah harapan dan peran sekecil apapun itu.

Aku tetap  menantimu di sini, di hamparan mimpi tak berujung hingga waktunya tiba.

Proud of you…

Palu, 26 Desember 2020

Kamis, 17 Desember 2020

PERJUANGAN DAN BUNGA

Oleh: Atina Liestyawati

 

ENTAH siapa yang memulai dan dari kelompok mana yang mempromosikan. Semua mengarahkan pandangan dan rasa ke mahkluk Allah yang memesona ini. Bukan hanya para wanita yang tergila-gila, kaum adam pun ikut ambil bagian. Di masa pandemi saat ini banyak waktu yang lowong untuk mengisi kekosongan. Maka makhluk yang satu ini menjadi trending topik.

Bunga menjadi primadona saat ini.  Semua seperti terhipnotis. Hampir sebagian besar pekarangan terisi bunga yang menghiasi rumah warga.

Bunga beserta pernak perniknya menjadi barang dagangan yang diburu warga.  Banyak bermunculan pedagang bunga musiman. Di pasar, pinggir jalan,  media sosial tak sedikit yang ambil bagian.

Saban kamis sore hingga esok harinya, di salah satu pojok Pasar Manonda ramai disambangi penikmat bunga.  Mulai dari masyarakat petani bunga sampai pedagang bunga dadakan. Mulai dari yang punya ilmu budidaya tanaman hias sampai yang hanya ambil tanaman tersebut di hutan.

Harganyapun bervariasi. Dari yang ratusan ribu sampai yang limaribuan ada di tempat itu.  Pandangan saya tertuju pada “ina-ina” dan “mangge-mangge” yang berjualan bunga. Ada perbedaan mencolok dari tanaman yang mereka jual. Beraneka ragam tumbuhan yang merek ambil di hutan seperti Pakis hutan, Anggrek hutan, jenis Calatea hutan dan sejenisnya dijajakan.

Mereka menjualnya dengan harga yang terbilang sangat murah. Lima ribu seikat. Harga yang sangat tidak pantas untuk seikat bunga yang cantik, pikirku.  Saya pun terusik untuk bertanya, “Dapat di mana bunganya ina?” Spontan si penjual bunga itu menjawab, “Di hutan sekitar gunung Matantimali.”  Informasi yang sempat keluar dari mulut  yang kemerahan karena mengunyah sirih. “Cemilan” khas mereka. Untuk memburu bunga liar terkadang harus naik turun lembah. Bertemu ular atau binatang berbahaya penghuni hutan demi mendapatkan seikat bunga yang harganya tak sebanding dengan perjuangan.

Miris. Kasihan bercampur iba mereka harus bertaruh nyawa untuk sekedar mendapatkan pundi-pundi penghasilan agar dapur tetap mengepul. Pun mereka harus menginap semalam di pasar agar keesokan pagi dapat menjajakan jualannya.

Tiba-tiba suara seorang ibu calon pembeli yang menawar harga bunga menyadarkan lamunanku. “Sepuluh ribu tiga ikat ya ina?”.  "Astaga… bunga semurah itu masih juga ditawar?," batinku. Si Ina, hanya terdiam sejenak lalu membalas dan mengangguk,  “ Iya... Boleh”.  Saya hanya bisa menghela napas panjang. Ada rasa sesak yang menjalar.

Pasar bunga itu hanya ada seminggu sekali. Akan bubar saat matahari telah meninggi. Hingga pukul 11.00 seiring berkurangnya pembeli. Setelah itu bunga-bunga hutan tadi yang tidak berjodoh dengan pembeli alias tidak laku. Yang diperoleh dengan perjuangan berat hanya berakhir di tempat sampah. Ditinggalkan begitu saja, layu tak bernyawa lagi.

 Sungguh disayangkan. Seandainya mereka punya keahlian budidaya tanaman mungkin pemandangan itu tidak akan terjadi.  Mereka butuh sentuhan pengetahuan dan keterampilan budidaya tanaman hias.  Mereka pantas mendapatkan pendidikan untuk kemampuan berjiwa agribisnis. Namun siapa yang bertanggung jawab? Pemerintahkah, lembaga pendidikankah, pihak swastakah atau… Hingga suatu saat taraf hidup mereka bisa terangkat.


Palu, 25 Nopember 2020

Selamat Hari Guru....

"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." (Pramoedya Ananta Toer)

#RuangLiterasiGuruSulteng


HAMSIA

 


Oleh Atina Liestyawati

Mulai dari mana kugoreskan kisah tentang sahabatku satu ini. Terlalu banyak kisah denganya,  Sahabat rasa saudara. Ya…saudara tapi tak sedarah. Sehari semalam mungkin tak cukup tuk mengungkapkannya.

Rumahnya tidak begitu jauh dari tempat tinggalku dulu, hanya sekelok sampai.  Sejak SMP sampai kuliah kami bersama, bahkan profersi pertama kamipun sama, di Pemberdayaan Masyarakat ketika mulai mengenal lingkup masyarakat luar nan luas. Satu ketika Bapakku bertanya, “temanmu cuma chia ya?’.  Hehehe…saya hanya senyum.

Banyak kenangan indah bersamanya, kami tak pernah berselisih. Saling support.  Dia adalah sahabat yang paling dekat denganku.  Mengukir cerita persahabatan bersamamu takkan pernah usai. Kadang saya menemukan sosok kakak di dirinya ketika nesehat petuahnya menenangkanku.

Dia punya keunikan, setiap kami pergi entah kemana. Pasti dia yang berucap untuk pulang duluan.  Maka kamipun menjulukinya si “pulang”.  Baru sampai, eee… sudah minta pulang.

Namun saat ini kami jarang berkomunikasi, mungkin karena kesibukan masing-masing.  Maafkan diriku sobat.  Meskipun saat ini kita tak dapat melewati hari-hari bersama lagi, jarang bersua muka. Tapi kamu tetap ada di hatiku….cieee…ciee..

Terima kasih untuk menjadi sahabatku, dulu, sekarang dan Insya Allah sampai ke JannahNya

 Palu,  17 Desember 2020


SUSMIN


oleh : Atina Liestyawati

Mendengar namamu orang akan berpikir kamu adalah warga keturunan Tionghoa. Nama yang unik  Tapi sebenarnya dirimu asli anak Tanah Kaili, Buni Tadulako tercinta.

Gadis manis berambut sebahu  jarang terdengar suaramu, namun ramah, jika tertawa maka sebaris gigi putihmu menghiasi wajah nan eksotis. Megenal pribadimu yang tangguh, kuat dan berani. Itu yang terlintas di pikiranku saat ini.  Saat mengingat kembali memori berapa dekade lalu.

Gadis paling kuat di kelasku, bagaimana tidak di pelajaran Olah Raga yang diampuh Pak Hasan  waktu itu seisi kelas mendapapat materi praktik Lari Jarak Jauh.  Jarak yang harus kita tempuh sekitar 1.000 meter membuat nafas ngos ngosan dan jantung berdetak kencang.  Dirimulah yang ada di posisi terdepan mengalahkan semua rekan-rekanmu.

Setiap  hari dirimu yang kedapati tiba pertama di kelas, tidak pernah telat padahal jarak rumahmu jauh di Donggala Kodi, pulang pergi ke sekolah jalan kaki selalu kau lakoni, tanpa mengeluh. Bukan hanya itu kita pernah ikut les Bahasa Inggris di kelurahan Besusu, kesanapun terkadang  kau tempuh dengan jalan kaki.  Salut buatmu sobat

Sama dengan teman sebangkumu “Yohana”.  Selepas penamatan,  saya tak pernah bersua lagi denganmu hingga  kutulis sekelumit kenangan dirimu.  Di sosial media tak nanpak, apa perlu saya menyewa detektif tuk menemukanmu. Hehehe… becanda.


Palu, 17 Desember 2020


YOHANA LINDA

 


YOHANA LINDA

Oleh : Atina Liestyawati

 

Yohana ganis manis asal Tanah Toraja, tanah yang penuh cerita keindahan alam dan budayanya. Diusia remaja meninggalkan kota kelahirannya meuntut ilmu ke provinsi sebelah. Dialek kedaerahannya yang masih kental, suka senyum menghiasi hari harinya di kelas 2 Fisika. Kelas kami.

Ya…. Si anak manis itu tidak tau kondisi tempatnya kan menuntuk ilmu.  Ikut sang kakak yang bertugas sebagai Tenaga Medis di kelurahan Watusampu. Pikirnya jarak rumah sang kakak dengan sekolah dekat….ternyata bertolak belakang dengan apa yang dibayangkan sebelumnya.

Saban hari setelah jam sekolah usai, yohana dan beberapa rekan lainnya harus numpang di mobil truk Pertamina agar bisa sampai di rumah . Bumi bahari lokasi sekolah kami  ke watusampu berjarak kurang lebih 20 km. Tak satupun angkot yang melayani trayek sejauh itu.   Sebuah perjuangan dan semangat yang luar biasa.  Mungkin sekarang tidak ada lagi anak sekolahan yang punya cerita sepertimu.

Kemarin tiba-tiba muncul grup WA kelas kita, tapi dirimu tak kutemui di dalamnya,  Dimana dirimu bersembunyi sobat. Semoga suatu saat kita bisa bersua.

Palu, 16 Desember 2020

Rabu, 16 Desember 2020

Berawal dari Pemberdayaan

 


Berawal dari Pemberdayaan

By : Atina Liestyawati

 

Dua Puluh lima tahun  yang lalu, saat saya bertugas sebagai tenaga fasilitator pemberdayaan masyarakat di desa kawasan penyangga Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Saat di mana mulai mengenal kehidupan desa, kebiasaan dan tata kehidupan masyarakat yang hidupnya masih tergantung dari apa yang disediakan alam.

Saya diperkenalkan dengan berbagai kearifan lokal masyarakat. Saya berbaur dengan penduduk hingga belajar bahasa daerah setempat serta masih banyak hal lain yang tidak pernah saya temukan menjadi pengalaman baru.

Tugas sebagai fasilitator pemberdayaan masyarakat desa memang susah-susah gampang.  Tujuannya untuk membuat masyarakat sejahtera dan hutan tetap lestari. Memang tidak mudah namun tetap dilakoni. Memberi pemahaman pada masyarakat untuk peduli kepada lingkungan sekitarnya. Pemberdayakan masyarakat memiliki cakupan yang luas. Bukan hanya lingkup ekonomi, lingkungan namun terkait pula dengan pendidikan.

Sampai suatu ketika seorang kepala madrasah mengajak saya untuk bergabung dan membagi ilmu pada siswanya. Dia meminta saya untuk menjadi staf pengajar di sekolah yang dipimpinnya.

Menjadi guru? Hal yang tak pernah saya bayangkan. Saya bukan berlatar pendidikan guru walaupun kakek dan ibu saya adalah seorang guru. Saya adalah sarjana di bidang peternakan. Tadinya saya ragu dengan tawaran itu. Namun motivasi darinya serta rasa prihatin akan kekurangan tenaga pendidik di sekolahnya yang membuat saya mencoba melakoni guru mata pelajaran IPA di sebuah madrasah.

Menghadapi berbagai karakter siswa menjadi tantangan baru bagiku.  Setiap hari Selasa siswa yang hadir di sekolah hanya separuh. Di selasa berikutnya pun begitu. Ada apa dengan mereka? Ternyata sebagian siswa berada di pasar. Hari selasa adalah jadwal pasar di desa. Ada yang membantu orang tuanya berjualan, menjadi tukang parkir ataupun hanya sekedar jalan-jalan melihat keramaian pasar.

Para siswa memanggilku ustazah. Saya merasa risi dengan panggilan itu. Namun saya bangga dan menikmati hari-hari menjadi guru, di sela kesibukan tugas utama sebagai pemberdaya masyarakat. Saya membagi ilmu dengan keikhlasan tanpa terbebani.  Menikmati hari baruku, belajar menjadi pendidik di madrasah kecil namun berarti besar bagi perjalanan hidupku

Jalan hidup sudah ditakdirkan. Menjadi pendidik yang digugu dan ditiru salah satu amanah terbesar dalam hidupku.  Dimulai dari sini. Di tanah Kaili.

Palu, 01 Desember 2020

RINDU

  dalam rindu ku masih berharap berharap kau kan hadir mengisi hari hariku lagi rindu kicauanmu ...rindu celotehmu... rindu anggukanmu... ri...