Atina Liestyawati

Kamis, 17 Desember 2020

PERJUANGAN DAN BUNGA

Oleh: Atina Liestyawati

 

ENTAH siapa yang memulai dan dari kelompok mana yang mempromosikan. Semua mengarahkan pandangan dan rasa ke mahkluk Allah yang memesona ini. Bukan hanya para wanita yang tergila-gila, kaum adam pun ikut ambil bagian. Di masa pandemi saat ini banyak waktu yang lowong untuk mengisi kekosongan. Maka makhluk yang satu ini menjadi trending topik.

Bunga menjadi primadona saat ini.  Semua seperti terhipnotis. Hampir sebagian besar pekarangan terisi bunga yang menghiasi rumah warga.

Bunga beserta pernak perniknya menjadi barang dagangan yang diburu warga.  Banyak bermunculan pedagang bunga musiman. Di pasar, pinggir jalan,  media sosial tak sedikit yang ambil bagian.

Saban kamis sore hingga esok harinya, di salah satu pojok Pasar Manonda ramai disambangi penikmat bunga.  Mulai dari masyarakat petani bunga sampai pedagang bunga dadakan. Mulai dari yang punya ilmu budidaya tanaman hias sampai yang hanya ambil tanaman tersebut di hutan.

Harganyapun bervariasi. Dari yang ratusan ribu sampai yang limaribuan ada di tempat itu.  Pandangan saya tertuju pada “ina-ina” dan “mangge-mangge” yang berjualan bunga. Ada perbedaan mencolok dari tanaman yang mereka jual. Beraneka ragam tumbuhan yang merek ambil di hutan seperti Pakis hutan, Anggrek hutan, jenis Calatea hutan dan sejenisnya dijajakan.

Mereka menjualnya dengan harga yang terbilang sangat murah. Lima ribu seikat. Harga yang sangat tidak pantas untuk seikat bunga yang cantik, pikirku.  Saya pun terusik untuk bertanya, “Dapat di mana bunganya ina?” Spontan si penjual bunga itu menjawab, “Di hutan sekitar gunung Matantimali.”  Informasi yang sempat keluar dari mulut  yang kemerahan karena mengunyah sirih. “Cemilan” khas mereka. Untuk memburu bunga liar terkadang harus naik turun lembah. Bertemu ular atau binatang berbahaya penghuni hutan demi mendapatkan seikat bunga yang harganya tak sebanding dengan perjuangan.

Miris. Kasihan bercampur iba mereka harus bertaruh nyawa untuk sekedar mendapatkan pundi-pundi penghasilan agar dapur tetap mengepul. Pun mereka harus menginap semalam di pasar agar keesokan pagi dapat menjajakan jualannya.

Tiba-tiba suara seorang ibu calon pembeli yang menawar harga bunga menyadarkan lamunanku. “Sepuluh ribu tiga ikat ya ina?”.  "Astaga… bunga semurah itu masih juga ditawar?," batinku. Si Ina, hanya terdiam sejenak lalu membalas dan mengangguk,  “ Iya... Boleh”.  Saya hanya bisa menghela napas panjang. Ada rasa sesak yang menjalar.

Pasar bunga itu hanya ada seminggu sekali. Akan bubar saat matahari telah meninggi. Hingga pukul 11.00 seiring berkurangnya pembeli. Setelah itu bunga-bunga hutan tadi yang tidak berjodoh dengan pembeli alias tidak laku. Yang diperoleh dengan perjuangan berat hanya berakhir di tempat sampah. Ditinggalkan begitu saja, layu tak bernyawa lagi.

 Sungguh disayangkan. Seandainya mereka punya keahlian budidaya tanaman mungkin pemandangan itu tidak akan terjadi.  Mereka butuh sentuhan pengetahuan dan keterampilan budidaya tanaman hias.  Mereka pantas mendapatkan pendidikan untuk kemampuan berjiwa agribisnis. Namun siapa yang bertanggung jawab? Pemerintahkah, lembaga pendidikankah, pihak swastakah atau… Hingga suatu saat taraf hidup mereka bisa terangkat.


Palu, 25 Nopember 2020

Selamat Hari Guru....

"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." (Pramoedya Ananta Toer)

#RuangLiterasiGuruSulteng


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RINDU

  dalam rindu ku masih berharap berharap kau kan hadir mengisi hari hariku lagi rindu kicauanmu ...rindu celotehmu... rindu anggukanmu... ri...