Atina Liestyawati

Kamis, 01 Oktober 2020

Kampungku “Pogego”

By: Atina Liestyawati



USAI rapat saya bergegas menuju parkiran kendaraan dan bersiap hendak pulang ke rumah. Dari arah belakang seorang teman menyapa, “Ibu, kapan pulang kampung?”. Saya sejenak tertegun. Membutuhkan beberapa detik bagi otakku merespon untuk memberi jawaban. Tapi rasa enggan muncul walau sekedar memberi pernyataan. Segera kualihkan ke topik pembicaraan yang lain. Pikirku, “Nga penting bangat”. Meminjam dialek orang Betawi. 

Betapa tidak. Pertanyaan itu identik arahnya ke asal usul kampung halaman. Sesuatu yang sensitif buatku karena selama ini saya hampir tak mengenal dan merasakan suasana yang ada di lingkunganku sebagai sebuah kampung dibanding daerah orang lain. Karena bagi saya kampung memiliki ciri khas tersendiri yang tidak sama dengan tempat saya diami selama ini. 

Momentum di akhir tahun pelajaran digunakan orang-orang untuk berlibur. Saya maklum. Dan biasanya akan memilih berlibur menikmati suasana kampung. Menjauhi hiruk pikuk keramaian dan kebisingan. Butuh suasana yang teduh, nyaman dan tenang jauh dari kebisingan untuk mengisi masa liburan. Bagi yang punya kampung tentu pilihan yang mudah untuk dilakukan. Berangkat…!!! 

Menjelang libur semester sebagian besar teman-teman sudah mempersiapkan rencana pulang kampung. Jauh sebelumya. Saya terkadang iri melihat mereka. Pulang kampung adalah momen yang dinantikan dan  sangat membahagiakan. Melebihi kebahagiaan menerima lembar hasil ujian dari guru.

Pengertian kampung bagi saya adalah tempat di mana kita dilahirkan, dibesarkan oleh orang tua. Bermain bercanda dengan teman sebaya, menelusuri pematang sawah, mencari ikan kecil di pinggir sungai dan aktivitas lainnya yang identik dengan karakter kampung. Sampai suatu saat setelah dewasa kita merantau meninggalkan kampung halaman. Setelahnya suatu ketika tiba saat untuk pulang kampung karena merindukan keluarga maupun suasananya.

Saya dilahirkan dan dibesarkan di Kota Palu. Kedua orang tua berasal dari kampung Selayar, wilayah kepulauan di bagian Provinsi Sulawesi Selatan. Selayar terkenal dengan kecantikan terumbu karangnya terletak di bagian selatan pulau Sulawesi. Sesuatu yang lazim, kampung halaman orang tua tentu akan menjadi kampung halaman bagi anak-anaknya juga. 

Namun bagi saya hal itu tak mungkin. Sejak kecil hingga saat ini saya tak pernah sekalipun menginjakan kaki di sana. Terkadang sesekali merasa bersalah jika  pengakuan sebagai Suku Selayar saya tuliskan dalam formulir atau angket bio data. Saya seperti orang hilang. Kehilangan akan identitas kedaerahan. Tak punya kampung. Tak bisa pulang kampung. Tapi tidak kampungan loh… 

Masa kecilku  saya habiskan di salah satu daerah di Kota Palu bernama Pogego. Nama tersebut agak “horor” kedengarannya. Seiring dengan imej orang tentang daerah tersebut. Betapa tidak, Pogego identik dengan area kuburan. TPU pertama yang ada di Kota Palu. Di masa kecilku saban hari menyaksikan irin-iringan pengantar jenazah yang berjalan kaki maupun suara sirine mobil ambulans yang melintasi indra pandangan dan pendengaran kami anak-anak Pogego. Sesuatu yang biasa buat kami. 

Pogego adalah kampungku. Biarlah imajinasiku  terbentuk sendiri menganggap Pogego itu adalah “kampung” halamanku walau secara formal tidak dapat dikategorikan kampung. Karena Pogego termasuk dalam wilayah administratif Kota Palu. 

Pasca gempa bumi yang terjadi 28 September lalu, realitas yang terjadi membuat sedih dan memprihatinkan bagi kami warga Pogego. Sesar Palu-Koro menampakan wajahnya dan sebagian besar wilayah Pogego dilalui sesar itu. Tak heran di wilayah ini perumahan penduduk mengalami kerusakan yang cukup parah.  Tak saya bayangkan lingkungan tempatku tinggal serta bermain di masa kecil, porak poranda diterjang gempa bumi 2018 lalu. 

Seiring dengan masa pemulihan pembanguan daerah terdampak bencana, termasuk pula daerah tempatku tinggal berubah wajah. Bangunan toko dan  rumah baru dibangun lagi. Tapi warganya sudah berganti dengan wajah yang lain. Sebagian besar kawan masa kecilku entah ke mana. Hanya sebagian kecil yang masih menetap di sana. 

Pogego, kampungku telah berubah. Perlahan seiring perkembangan kota, kampung ini akan berganti rupa. Jejak-jejak kami di waktu kecil pun ikut terhapus oleh realitas lain dengan warna dan corak yang berbeda. Menggantikan suasana kampung yang kami ciptakan tempo hari.  Kampungku terancam tak berbekas. Entahlah…

7 komentar:

  1. πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah..keren sekali bu Atina..Tetap Smangat berkarya

    BalasHapus
    Balasan
    1. baru belajar buat blog dan menulis...terima kasih suportnya bu..

      Hapus
  3. Terharu..πŸ‘πŸ‘πŸ‘tetap smangat ma Zid..😊

    BalasHapus
  4. Terharu..πŸ‘πŸ‘πŸ‘tetap smangat ma Zid..😊

    BalasHapus

RINDU

  dalam rindu ku masih berharap berharap kau kan hadir mengisi hari hariku lagi rindu kicauanmu ...rindu celotehmu... rindu anggukanmu... ri...